Sabtu, 03 November 2012

Yadnya

Belajar dan Pembelajaran Adalah Yadnya

Agama Hindu, atau Agama Veda, tidak hanya sekedar suatu Agama. Ia adalah jalan spiritual dan cara hidup. Veda diwahyukan bersamaan dengan kesadaran manusia akan kemampuannya berpikir. Hyang Widhi yang dalam Rg-Veda disebut sebagai Prajapati, telah ber-Yadnya menciptakan semesta dengan inti manusia sebagai ciptaan-Nya yang utama.
Diantara mahluk-mahluk hidup, manusialah yang mempunyai kemampuan berpikir sehingga kepada manusia ajaran-ajaran Veda diwahyukan agar kehidupan semesta dapat terwujud sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia.
Hyang Widhi telah melakukan Yadnya sebagai suatu bentuk pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas. Dengan demikian maka manusiapun melakukan yadnya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Pengorbanan itu dapat berwujud dan dapat pula tidak berwujud.
Pengorbanan yang berwujud berupa benda-benda dan kegiatan, sedangkan pengorbanan yang tidak berwujud adalah berupa “tapa” atau pengekangan indria dan pengendalian diri agar tidak menyimpang dari ajaran Veda.
Pentingnya ber-yadnya bagi manusia, tersirat dari Bhagawadgita Bab III.9:
YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
Artinya: Selain kegiatan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat oleh hukum karma. Oleh karenanya lakukan tugasmu ber-yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan; lakukan yadnya tanpa memikirkan hasil, dengan tulus ikhlas dan untuk Tuhan.
Juga dalam Bhagawadgita Bab IV pasal 19 ada disebutkan tentang hal ini:
YASYA SARVE SAMARAMBHAH, KAMASAMKALPAVARJITAH, JNANAGNIDAGDHAKARMANAM, TAM AHUH PANDITHAM BUDHAH
Artinya: Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya dan ia yang kepercayaannya dinyalakan oleh api pengetahuan, diberi gelar Pandita oleh orang-orang yang bijaksana.
Berbagai bentuk yadnya dan nilai-nilai symbolisnya ditemukan dalam Bhagawadgita Bab IV pasal 23 sampai 30 di mana disimpulkan bahwa tiap-tiap usaha yang berakibat mengurangi rasa keakuan dan mengurangi nafsu rendah semata-mata untuk mewujudkan bhakti kepada Hyang Widhi, adalah pengorbanan.
Oleh karena itu maka bentuk yadnya dapat digolongkan kedalam empat besar, yaitu: Widhi Yadnya, Druwya Yadnya, Jnana Yadnya, dan Tapa Yadnya.
WIDHI YADNYA
Widhi Yadnya adalah bentuk yadnya yang diadakan dengan berlatar belakang pada kehidupan manusia yang mempunyai “hutang-hutang” atau Rnam. Rnam itu ada tiga, yaitu Dewa Rnam, Rsi Rnam, dan Pitra Rnam.
Dewa Rnam adalah hutang manusia kepada Hyang Widhi, karena berkat anugrah-Nya atman atau roh dapat ber-reinkarnasi menjadi manusia; Rsi Rnam adalah hutang manusia kepada para Maha-Rsi yang telah menyebarkan ajaran Veda sebagai pangkal ilmu pengetahuan sehingga manusia mempunyai kemampuan meningkatkan kualitas kehidupannya; Pitra Rnam adalah hutang manusia kepada leluhur sebagai yang mengembangkan keturunan.
Manusia yang berbudi hendaknya menyadari adanya Tri Rnam ini serta melakukan yadnya sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-IV (Atha Caturtho Dhayah) pasal 21:
RSI YAJNAM DEVAYADNAM BHUTA YAJNAM CA SARVADA, NRYAJNAM PITRYAJNAM CA YATHACAKTI NA HAPAYET
Artinya: Hendaknya janganlah sampai lupa, jika mampu melaksanakan yadnya untuk para Rsi, para Dewa, kepada unsur-unsur alam (Bhuta), kepada sesama manusia dan kepada para leluhur.
Ajaran ini berkembang di Nusantara sebagai “Panca Yadnya” dengan urutan: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya.
Tri Rnam “dibayar” dengan Panca Yadnya, sebab ada yadnya-yadnya yang bermakna atau bertujuan sama dalam kaitan Rnam, yaitu: Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya ada dalam kaitan Dewa Rnam; Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya ada dalam kaitan Pitra Rnam, dan Rsi Yadnya khusus untuk Rsi Rnam.
DRUWYA YADNYA
Druwya Yadnya adalah pengorbanan dalam bentuk materi yang diberikan kepada seseorang yang membutuhkan. Dalam keseharian Druwya Yadnya ini dikenal dengan kegiatan me-Dana Punia. Dana Punia yang dilakukan tanpa mengharap balas jasa itulah yang utama sebagaimana disebutkan dalam Bhagawadgita XVII pasal 20:
DATAVYAM ITI YAD DANAM, DIYATE NUPAKARINE, DESE KALE CA PATRE CA, TAD DANAM SATTVIKAM SMRTAM
Pemberian dana yang dilakukan kepada seseorang tanpa harapan kembali, dengan perasaan sebagai kewajiban untuk memberi kepada orang yang patut dalam waktu dan tempat yang patut itulah yang disebut sattvika (baik).
JNANA YADNYA
Jnana Yadnya adalah pengorbanan dalam bentuk kegiatan belajar dan pembelajaran. Bhagawadgita VII membedakan antara Vijnana dengan Jnana sebagai berikut: Vijnana adalah pengetahuan yang berdasarkan pemikiran dan kecerdasan, sedangkan Jnana adalah pengetahuan mengenai ke-Tuhan-an.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa Jnana tidak mungkin diperoleh tanpa Vijnana, karena Vijnana adalah dasar yang kuat untuk meningkatkan pengetahuan rohani. Jnana Yadnya tidak hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga bagi diri sendiri, karena sangat membantu upaya manusia dalam pendakian kesadaran spiritual.
Kegiatan belajar dan proses pembelajaran adalah contoh Jnana Yadnya yang disebut sebagai bentuk Yadnya yang lebih agung, dalam Bhagawadgita IV pasal 33:
SREYAN DRAVYAMAYAD YAJNAJ, JNANAYAJNAH PARAMTAPA, SARVAM KARMA KHILAM PARTHA, JNANE PARISAMAPYATE
Artinya: Persembahan korban berupa ilmu pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang berupa apa juapun, sebab segala pekerjaan dengan tiada kecuali memuncak dalam kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengetahuan.
TAPA YADNYA
Tapa Yadnya adalah pengorbanan atau yadnya yang tertinggi nilainya karena berwujud sebagai pengendalian diri masing-masing individu. Tapa Yadnya juga disebut sebagai kegiatan pendakian spiritual seseorang dalam upaya meningkatkan kualitas beragama.
Tahapan-tahapan peningkatan kualitas beragama, menurut Lontar Sewaka Dharma adalah:
  1. Ksipta, seperti perilaku ke-kanak-kanakan yang cepat menerima sesuatu yang dianggapnya baik tanpa pertimbangan yang matang.
  2. Mudha, seperti perilaku pemuda: pemberani, selalu merasa benar, kurang mempertimbangkan pendapat orang lain.
  3. Wiksipta, seperti perilaku orang dewasa, mengerti hakekat kehidupan, memahami subha dan asubha karma.
  4. Ekakrta, seperti perilaku orang tua, yaitu keyakinan yang kuat pada Hyang Widhi, mempunyai tujuan yang suci dan mulia.
  5. Nirudha adalah perilaku orang-orang suci, penuh pengertian, bijaksana, segala pemikiran perkataan dan perbuataannya terkendali oleh ajaran-ajaran Agama yang kuat, serta mengabdi pada kepentingan umat manusia.
Tujuan menekuni Agama atau kerajinan melaksanakan ajaran Agama adalah mewujudkan Tapa Yadnya ini dalam kehidupan sehari-hari.
Antara Jnana Yadnya dan Tapa Yadnya ada korelasi yang mutualistik, karena seperti yang diuraikan di atas, tidak mungkin melakukan Tapa Yadnya yang baik tanpa melaksanakan Jnana Yadnya terlebih dahulu.
Bahkan jika dipikirkan lebih jauh, dasar dari seluruh Yadnya adalah Jnana Yadnya, karena dengan proses belajar dan pembelajaran, manusia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang kewajibannya untuk ber-Yadnya.
Sejak zaman Veda, proses belajar dan pembelajaran yang diadakan di setiap sampradaya telah memakai metoda yang demikian terkait sehingga untuk dapat mengajarkan Veda, seorang Guru terlebih dahulu haruslah meningkatkan kualitas dirinya melalui proses belajar yang intensif.
Dalam garis ini tingkat pengetahuan spiritual tertinggi secara hati-hati diturunkan dari seorang Guru kepada muridnya. Guru mempunyai kemampuan yang sedemikian rupa untuk mempengaruhi muridnya tidak hanya dalam perkataan saja, tetapi lebih jauh adalah dalam memberi contoh pola pikir dan berbuat sehari-hari.
Agama Hindu adalah “Sanatana Dharma”, yaitu suatu kebenaran yang abadi. Artinya Veda adalah panduan hidup manusia sepanjang zaman karena Hyang Widhi telah mewahyukannya untuk diikuti oleh seluruh umat manusia.
Veda adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan seluruh topik yang diliput oleh pustaka suci Veda, ia menyediakan cara atau alat bagi suatu kehidupan yang penuh dan seimbang, secara material dan spiritual.
Untuk menjadi yang utama, manusia hendaknya menempuh jalan hidup yang ilmiah. Jalan hidup ilmiah hanya dapat diperoleh melalui proses belajar dan pembelajaran. Siapapun dan dalam kondisi apapun dapat menjadi seorang Hindu dan mempraktekkan serta mendapatkan manfaat dari pengajaran Veda. Ini akan memberi keuntungan dalam berbagai cara.
Salah satu aspek Sanatana Dharma adalah hakekat abadi dari jiwa yang meliputi semua mahluk sehingga dalam kemanusiaan terjadilah proses belajar dan pembelajaran yang sifatnya universal, tidak memilih waktu, tempat, budaya, agama-agama, ras, usia, suku bangsa, gender, dll.
Veda mengajarkan kesadaran universal yang berpangkal dari kesadaran individu bahwa individu adalah bagian dari alam semesta sehingga mikrokosmos adalah mewakili makrokosmos. Pelajaran yang sempurna mengenai astronomi Veda mengungkapkan bahwa bentuk universal juga terdapat dalam diri individu.
Oleh karena semesta adalah ciptaan Hyang Widhi, maka proses belajar dan pembelajaran juga merupakan kewajiban setiap individu, dengan tujuan agar tercapainya kesadaran universal itu. Di sini terbukti bahwa ajaran Veda mengembangkan pola pikir tentang kepedulian yang sungguh-sungguh terhadap semesta khususnya ke seluruh umat manusia.
Dalam Vanashrama Veda tegas-tegas disebutkan bahwa jenjang kualitas manusia dinilai dari kemampuan intelektual dan spiritualnya, dan bukan dari hal-hal yang bersifat material lainnya.
Setelah melalui proses belajar dan pembelajaran dalam filosofi Veda, manusia akan dapat membuat perubahan kualitas kehidupan yang nyata dapat dirasakan, dan juga meluasnya lingkaran pengaruh individu kepada lingkungannya. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip Sanatana Dharma, maka kualitas kehidupan manusia dari zaman ke zaman akan semakin membaik seiring dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Senin, 29 Oktober 2012

SAPI



Sapi tidak pernah dimaksudkan untuk dimakan oleh manusia

 

dhenunam asmi kamadhuk
Di antara sapi Aku adalah sapi yang dapat memenuhi semua keinginan.
Sapi dalam Agama Hindu adalah binatang suci “Nandini” sebagai palinggihan Ida Bhatara Siwa oleh karenanya disakralkan, bukan diharamkan seperti babi dalam Agama Islam.
Pantangan menyakiti, membunuh, memakan dagingnya adalah dalam kaitan sujud bhakti kita ke hadapan Ida Bhatara Siwa (Tuhan Yang Maha Esa). Bagaimana mungkin setiap hari kita memuja-Nya, lalu di kesempatan lain kita memakan daging binatang suci kesayangan-Nya?
Aturan-aturan mengenai tidak menyakiti, membunuh, dan memakan daging sapi ada dalam Parasara Dharmasastra (Smrti Kaliyuga) Bab IX.
Pasal 37:
IA YANG MENDORONG SEEKOR SAPI KE DALAM KOLAM ATAU SUMUR ATAU MENINDIH PUNGGUNGNYA DENGAN POHON ATAU MENJUALNYA KEPADA PENGGEMAR DAGING SAPI DINYATAKAN BERDOSA MEMBUNUH SAPI.
Pasal 62:
IA YANG TELAH MEMBUNUH SEEKOR SAPI MENCOBA MENYEMBUNYIKAN DOSANYA DALAM KEHIDUPAN INI SETELAH MATI DICAMPAKKAN DALAM KEPEDIHAN NERAKA KALASUTRAM.
Pasal 63:
TERLEPAS DARI NERAKA ITU IA DILAHIRKAN SEBAGAI SEORANG YANG DIKEBIRI (WANDU?) ATAU SEORANG PENDERITA PENYAKIT KUSTA (ATAU AIDS?) ATAU SEBAGAI SEORANG YANG MISKIN PADA TUJUH PENJELMAAN SECARA BERTURUT-TURUT.
Bagi seorang Pendeta/ Pandita (Brahmana Dwijati) tercantum dalam Bab XI pasal 1:
SETELAH (DENGAN TIDAK SENGAJA) MAKAN DAGING SAPI ATAU NASI SEORANG CANDALA ATAU MATERI ORGANIK KOTOR SEPERTI SPERMA DSB. SEORANG BRAHMANA HARUS MELAKUKAN UPACARA PENEBUSAN DOSA CANDRAYANA.
Selanjutnya unsur-unsur sapi disakralkan dalam upacara pembebasan dosa antara lain tercantum dalam Bab XI pasal 27:
KESUCIAN DAN PEMBEBAS DOSA ADALAH PANCAGAVYAM, YANG MERUPAKAN CAMPURAN DARI AIR KENCING SAPI, TAHI SAPI, SUSU SAPI, SUSU SAPI BEKU, MENTEGA MURNI DARI SUSU SAPI, DAN AIR CUCIAN RUMPUT KUSA.
Dalam lontar-lontar Kusumadewa dan Silakrama dicantumkan bahwa seorang Ekajati (Jero mangku) apalagi seorang Dwijati (Pandita) dilarang untuk: memegang tali sapi, melangkahi tali sapi, menginjak tahi sapi, dan kencing di atas tahi sapi, di samping larangan-larangan dalam Parasara Dharmasastra tersebut di atas.
Sikap kita adalah menjalankan swadarma sebagai pemeluk Hindu yang baik antara lain meyakini kebenaran sastra Agama tersebut.
Dalam Veda menyatakan:

namo brahmanya-devaya / go-Brahmana-hitaya ca
jagad-dhitaya kanaaya / govindaya namo namah

"Tuhanku, Engkau adalah pemberi selamat dari sapi dan brähmaëas, dan Engkau adalah pemberi selamat dari seluruh masyarakat manusia dan dunia." (Visnu Purana 1.19.65)

Maksud ini adalah bahwa perhatian khusus diberikan dalam doa untuk melindungi sapi-sapi dan brahmana. Brähmaëas adalah simbol pendidikan spiritual, dan sapi adalah simbol makanan yang paling berharga; makhluk hidup dua ini, brahmana dan sapi, harus diberikan semua perlindungan-yaitu kemajuan nyata peradaban. Dalam masyarakat manusia modern, pengetahuan spiritual diabaikan, dan pembunuhan sapi dianjurkan. Perlu dipahami, bahwa masyarakat manusia terus bergerak maju ke arah yang salah dan membersihkan jalan menuju kecaman sendiri. Sapi adalah ibu dan banteng ayah dari manusia. Sapi itu adalah ibu karena hanya sebagai salah satu mengisap payudara ibu seseorang, masyarakat manusia membutuhkan susu sapi. Demikian pula, banteng adalah ayah dari masyarakat manusia karena ayah mendapatkan untuk anak-anak seperti banteng untiik tanah untuk menghasilkan biji-bijian makanan. Masyarakat manusia akan membunuh semangat hidup dengan membunuh ayah dan ibu.

Sapi tidak pernah dimaksudkan untuk dimakan oleh manusia
Sapi, bagaimanapun, tidak pernah dimaksudkan untuk dibunuh atau dimakan oleh manusia. Di setiap sastra, membunuh sapi itu dikutuk dengan keras. Manu-samhita mengatakan: kita memiliki kecenderungan banyak di dunia materi ini, tetapi dalam kehidupan manusia satu ini dimaksudkan untuk belajar bagaimana untuk mengekang kecenderungan mereka. Mereka yang ingin makan daging dapat memenuhi tuntutan lidah mereka dengan memakan hewan yang lebih rendah, tetapi mereka tidak pernah harus membunuh sapi, yang benar-benar diterima sebagai ibu masyarakat manusia karena mereka memasok susu. Para sastra terutama merekomendasikan, Kani-go-raksya: bagian Vaisya kemanusiaan harus mengatur makanan dari seluruh masyarakat melalui kegiatan pertanian dan harus memberikan perlindungan penuh kepada sapi, yang merupakan hewan paling berguna karena mereka menyediakan susu untuk masyarakat manusia .


Krishna Menekankan Perlindungan Sapi
Ini adalah perintah dari Bhagavad-gita. Dalam hal melindungi sapi, pemakan daging akan protes, tetapi dalam jawaban kepada mereka kita dapat mengatakan bahwa sejak Krishna memberikan perlindungan sapi, mereka yang cenderung untuk makan daging dapat memakan daging hewan yang tidak penting seperti babi, anjing , kambing dan domba, tetapi mereka tidak boleh menyentuh kehidupan sapi, karena ini adalah tindakan destruktif bagi kemajuan spiritual masyarakat manusia.

"Tuhanku, Engkau adalah pemberi selamat dari sapi dan brahmana, dan Engkau adalah pemberi selamat dari seluruh masyarakat manusia dan dunia." Untuk masyarakat manusia sempurna harus ada perlindungan go-dvija-sapi dan brahmana. Para dvija kata mengacu pada Brahmana, atau orang yang mengetahui Brahman (Tuhan). Ketika kerasukan setan memberi terlalu banyak masalah dengan brahmana dan sapi, Krishna turun untuk membangun kembali prinsip-prinsip agama.

Sapi adalah Ibu Anda, Jadi jika sapi adalah ibu Anda, bagaimana Anda dapat mendukung membunuhnya? Anda mengambil susu darinya, tenaganya untuk menyuburkan bibit-bitit dan ketika dia sudah tua dan tidak dapat memberi lagi, Anda memotong tenggorokannya. Apakah itu sebuah proposal yang sangat manusiawi? Marilah kita sebagai umat Hindu di Indonesia menjadi orang yang lebih sadar dan memberikan perlindungan khusus untuk Sapi kita.