TRI SANDYA DAN KRAMANING SEMBAH
PENDAHULUAN
Agama adalah
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan kepercayaan tersebut. Tiap-tiap agama percaya dan meyakini Tuhannya
dengan identitas yang berbeda-beda antara agama yang satu dengan yang lain.
Dengan adanya kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhannya, setiap umat beragama
ingin berhubungan dengan Tuhannya untuk memenuhi rasa keagamaannya. Tiap-tiap agama
mempunyai cara tersendiri untuk berhubungan dengan Tuhannya.
Umat Hindu meyakini Tuhannya sebagai Beliau yang tidak
berpribadi/tanpa kualitas (Nirguna) dan tak terbagi atau gaib (Niskala),
dan sekaligus juga sebagai Beliau Yang berpribadi atau dengan sifat (Saguna)
dan seolah-olah terbagai-bagi (Sakala). Dalam Lontar Jnanasiddhanta, 122
disebutkan :
Ekatwānekatwa swalaksana Bhattāra. Ekatwa ngaranya kahidep
makalaksana ng Śiwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepnira.
Mangekalaksana Śiwa-kārana juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya kahidepan
Bhattāra makalaksana Caturdhā. Caturdhā ngaranya laksananiran sthūla sūksma
para-sūnya.
Artinya :
Sifat Bhattara adalah
eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia yang dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia
hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai
Siwakarana tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat
Caturdha artinya sthula, suksma, para dan sunya.
Beliau sebagai Ia yang Eka (Esa), Beliau
adalah Nirguna, Niskala. “Bhattara Siwa sira wyapaka, sira suksma tar kneng
angen-angen, kadyangganing akasa, tan kagrhita dening manah mwang indriya”
(Bhuwanakosa II, 16). Artinya : Bhattara Siwa meresapi segala, Ia yang gaib
tak terpikirkan, Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriaya.
Sedangkan Beliau
sebagai Ia yang Aneka, Beliau adalah Saguna, Sakala.
“Nihan wibhaga Bhattara munggwing rikang tattwa kabeh,
Sarwājña ngaranira, yan umandel ing prthiwi, Bhāwa ngaranira yan umandel ing
toya, Pasupati ngaranira yan umandel ing Sanghyang Agni, Isāna ngaranira yan
umandel ing bayu.
Bhima ngaranira yan heneng ākāsa, kinahanan ta sira dening
Astaguna, Māhadewa ngaranira yang haneng manah, tan pāwak, Ugra ngaranira yan
haneng pañca tan mātra, Rudra ngaranira yan haneng teja makūwak ahangkāra”
(Bhuwanakosa III, 9, 10)
Artinya :
Inilah perincian
Bhattara berada pada semua tattwa, Sarwajña namanya bila berada di tanah, Bhawa
namanya bila berada di air, Pasupati namanya bila berada pada api, Isana
namanya bila berada pada angin.
Bhima namanya bila
berada di angkasa, dipenuhi Ia oleh Astaguna, Mahadewa namanya bila berada pada
pikiran, Ugra namanya bila berada pada cahaya berbadan ahangkara.
Ketika umat Hindu ingin melakukan hubungan dengan Tuhannya
(Sanghyang Widhi, secara umum ditempuh dengan cara sembahyang.
Dengan melakukan hubungan dengan sembahyang kepada Sanghyang Widhi terjadi
interaksi antara penyembah (Umat) denganyang disembah (Sanghyang
Widhi). Maka dengan demikian yang disembah adalah Tuhan yang berpribadi (Saguna,
Sakala). Namun kadang-kadang oleh orang-orang tertentu Sanghyang Widhi
dipuja sebagai Tuhan yang tidak berpribadi (Nirguna, Niskala). Hal ini
adalah dalam kerangka memenuhi rasa filosofis seseorang. Maka dalam berhubungan
dengan Sanghyang Widhi, umat Hindu mengenal jalan yang disebut 1) Nirwrtti
Margayaitu jalan kelepasan dengan merealisasikan Sanghyang Widhi sebagai
sunya dalam dirinya (jnana dan raja marga dalam catur marga), dan 2) Prawrtti
Marga yaitu jalan bakti dan karma dengan melaksanakan kewajiban hidup sebaik-baiknya
sebagai persembahan kepada Sanghyang Widhi, dimana Sanghyang Widhi dipuja
sebagai Ista Dewata yang direalisasikan dalam berbagai bentuk,
umumnya dalam bentuk yadnya dengan berbagai aktifitas ritual/upacara dengan
berbagai upakaranya.
Dengan melakukan
sembahyang, berarti menempuh jalan Bhakti dan Karma Marga. Walaupun secara
konseptual Catur Marga sebagai jalan yang terpisah namun dalam prakteknya
antara Bhakti, Karma, Jnana dan Raja Marga tidak dapat dipisahkan.
Sembahyang dapat
dilakukan dengan cara Tri Sandya dan Kramaning Sembah.
1. TRI SANDHYĀ
1.1 Pengertian
Kata Tri Sandhyā kita dapati pada beberapa
sumber susastra Hindu. Diantaranya dalam kitab Agastya Parwa disebutkan “… agelema
ta sirāmujā, matrisandhyā, toyasnāna, bhasmasnāna, mantrasnāna, … (Agastya
Parwa 396). Dalam kitab Agastya Parwa tidak disebutkan urutan-urutan puja
mantra tri sandya sebagaimana yang kita ketahui, karena kata Tri Sandhyā
mengandung pengertian sebagai tiga pertemuan waktu. Kata tri artinya tiga, kata
sandhya berasala dari akar kata sam (berhubungan) dan di(ditaruh) yaitu
hubungan dua keadaan atau benda seperti hubungan antar waktu atau antar ruang.
Sandhyā artinya hubungan antara waktu. Jadi yang dimaksud dengan Tri Sandhyā
adalah pertemuan antara waktu malam dengan pagi, antara waktu pagi dengan siang
dan antara waktu siang dengan malam. Pertemuan antara waktu-waktu itu dipandang
sebagai waktu kritis. Agar terhindar dari bahaya dan mendapatkan keselamatan
serta kerahayuan maka pada waktu-waktu kritis tersebut orang melakukan
sembahyang agar Sanghyang Widhi melindungi dan memberikan keselamatan. Sehingga
selanjutnya kata Tri Sandyā diartikan sebagai tiga waktu untuk berhubungan
dengan Sanghyang Widhi atau tiga waktu untuk sembahyang.
1.2. Sumber
Puja Tri Sandhyā adalah merupakan hasil rumusan yang strukturnya
amat serasi. Tampaknya yang merumuskan memahami hakekat sebuah mantram dan
mungkin sempat berkonsultasi dengan beberapa sulinggih yang memahami tentang
hal itu. Puja Tri sandhyā baru dikenal sekitar tahun 1950-an. Pada waktu itu
Prof. Pandit Shastri menerbitkan buku Puja Tri Sandhyā, sebuah buku yang
dicetak dengan huruf Bali dan huruf Latin yang sangat bagus pada jamannya.
Selanjutnya tidak lama setelah buku tersebut diterbitkan,
menyusul diterbitkan buku Upadesa, sebagai sebuah buku yang besar jasanya dalam
memperkenalkan pokok-pokok ajaran agama Hindu yang ditulis oleh Team. Dalam
buku inilah juga ditulis Puja Tri Sandhyā dan pedoman sembahyang yang cukup
baik.
Sebagai sebuah rumusan mantram Puja Tri Sandhyā
yang terdiri dari enam (6) bait bersumber dari berbagai sumber. Bait
pertama bersumber dari salah satu Mantram Gāyatrī yang terdapat dalam
kitab Rg Veda, III.62.10. Pada bait mantram dalam kitab Rg Veda kata bhur
bhuvah svah tidak ada. Tambahan kata bhur bhuvah svah itu terdapat dalam kitab
Yajur Veda Putih, 36.3.
Mantra Gāyatrī atau Gāyatrī Mantram adalah
mantram yang paling utama dan paling mulia diantara semua mantra. Ia adalah ibu
mantram yang dinyanyikan oleh semua orang Hindu waktu sembahyang, sebagaimana
disebutkan pada buku, The Call of Vedas:
One reason why the
gāyatrī is considered to be the most representative prayer in the Vedas is that
is capable of possesing “dhī,” higher intelligence which brings him knowledge,
material and transcendental. What the eye is to the body, “dhī,” or
intelligence is to the mind. (p. 108-1090).
Artinya :
Suatu sebab mengapa Gāyatrī dipandang dan yang
mewakili segala di dalam Veda ialah karena ia adalah doa untuk daya kekuatan
yang dapat dimiliki orang ialah “dhī,” yaitu kecerdasan yang tinggi yang
memberikan padanya pengetahuan, materi dan kemampuan mengatasi hal-hal
keduniawian. Sebagai halnya mata bagi badan, demikianlah, “dhī,” atau
kecerdasan untuk pikiran.
Bait kedua,
bersumber dari salah satu dari suatu rangkaian mantram yang panjang disebut
Catur Veda Sirah (Empat Veda Kepala). Catur Veda Sirah adalah salinan dari
kitab Narayana Upanisad sebuah Upanisad minor (kecil). Pada mantra ini pemuja
memuja Tuhan sebagai Narayana, Tuhan yang suci tanpa noda, Ia hanya tunggal
tiada yang kedua.
Bait ketiga bersumber
dari Siwa Astawa, puja kedua, yaitu mantram pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai
sebutan Tuhan dalam berbagai-bagai sebutan. Oleh pemujanya Tuhan yang Tunggal
disebut dengan banyak nama. Ia disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara,
Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa. Masih banyak lagi sebutan yang lain. Namun
bait ketiga dari Puja Tri Sandhyā dengan puja kedua dari Siwa Astawa ada
perbedaan terutama pada baris terakhir. Bait ketiga baris terakhir pada Puja
Tri Sandhya berbunyi, “purusah parikīrtitah,” (parikirtitah artinya
dipanggil), sedangkan pada puja kedua baris terakhir dari Siwa Astawa berbunyi,
“purusah prakŗtis tathā,” (prakrti artinya prakrti).
Bait keempat, kelima dan keenam bersumber dari kumpulan mantra yang sama
yaituKsamamahadevastuti 2-5 (Titib, 2003 : 40), tersebar dalam Wedasanggraha.
Dimanabait keempat adalah sebagai pengakuan bahwa diri serba hina
dan memohon agar Tuhan melindungi dan membersihkan dari segala noda. Bait
kelima, pemuja memohon ampun dan memohon agar dibebaskan dari semua papa,
semua kehinaan dan dosa. Pemuja mohon untuk dijaga karena Ialah penjaga semua
makhluk dan penguasa tertinggi atas segala yang ada. Bait keenam,
pemuja memohon ampun atas segala dosa dari anggota badan, kata-kata dan
pikiran.
1.3 Struktur
Bait demi bait dari mantram Puja Tri Sandhyā
merupakan himpunan mantra, sebagai nyanyian pujaan. Setiap nyanyian pujaan pada
umumnya mengandung tiga komponen yaitu : pujian, pengakuan, permohonan.
Namun di beberapa bait mantra komponen kedua yaitu pengakuan kadang-kadang
tidak ada. Pada mantram Puja Tri sandhyā ketiga komponen itu ada dan
terstruktur secara serasi, yaitu bait pertama, kedua dan ketiga adalah pujian,
bait keempat adalah pengakuan serta bait kelima dan keenam
adalah permohonan.
Sebagai suatu bukti akan didapati dari sekian banyak bait-bait
mantra dalam kitab Veda yang jiwa dan semangatnya sama, contohnya :
Kavi no mitrāvarunā
tuvijātā uruksayā
daksam dadhāte apasam.
Artinya :
Pendeta kami, Mitra dan Varuna, yang luas
wilayahnya, yang kuat karena keberaniannya,
Karuniailah kami kekuatan yang bekerja dengan
baik.
Trātāram indram
avitāram handramhavehave suhavam suram indram,
hvayāmi sakram
puruhūtam indram svasti no maghavā dhātvindrah.
(Rg.Veda, VI.47.11)
Artinya :
Tuhan sebagai Penolong, Tuhan sebagai
Penyelamat, Tuhan yang Maha Kuasa, yang dipuja dengan gembira dalam setiap
pemujaan, Tuhan Maha Kuasa, selalu dipuja, kami memohon, semoga Tuhan yang Maha
Pemurah melimpahkan rahmat kepada kami.
Imā juhvānā yusmadā
namobhih prati stomam sarasvati jusāsva,
tava sarman priyatame
dadhānā upa stheyāma saranam na vrksam.
(Rg Veda VII.95.5)
Artinya :
Sajian ini dibuat olehmu dengan rasa hormat,
katakanlah hal ini wahai Sarasvati, dan terimalah setiap doa kami, dan dengan
menempatkan kami di bawah lindunganmu yang tercinta ! Semoga kami mendekatimu
sebagai pohon tempat berteduh.
Dll.
Dari contoh-contoh bait mantra tersebut dapat disimpulkan bahwa
jiwa dan semangat ajaran Veda ada tiga yaitu pujian, pengakuan dan permohonan.
1.4 Bentuk
Bait-bait mantra adalah puisi yang terikat
oleh Metrum atau Candha. Jenis Candhaditentukan
oleh jumlah suku kata pada setiap baik mantra. Ada beberapa jenis Chandayaitu
:
Gayatri, terdiri dari 24 suku kata
Usnih terdiri dari 28 suku kata
Anustubh terdiri dari 32 suku kata (belakangan disebut sloka).
Brhati terdiri dari 36 suku kata
Pankti terdiri dari 40 suku kata
Tristubh terdiri dari 44 suku kata
Jagati terdiri dari 48 suku kata
Gayatri sebagai mantram pertama adalah nama
sebuah Candha dari beberapa jenisCandha. Gayatri kadang
disusun menjadi tiga baris dalam satu bait, dimana setiap baris terdiri dari 8
suku kata, kadang juga disusun dalam dua baris dimana baris pertama terdiri
dari 16 suku kata dan baris kedua terdiri dari 8 suku kata.
Jika dicermati bait pertama mantram Puja Tri
Sandhya, jumlah suku katanya tidak cocok dengan jumlah suka kata Candha
Gayatri, namun ia disebut Gayatri Mantram. Kata Bhur Bhuvah Svah tidak termasuk
kedalam struktur. Kata bhur bhuvah svah disebutMahaVyahrti (ucapan
yang agung).
Bait kedua berbentuk prosa yang
tentunya tidak terikat oleh jumlah suku kata. Sedangkan bait ketiga sampai
dengan bait keenam berbentuk sloka (Candha Anustubh).
1.5 Bahasa
Bahasa mantram Puja Tri Sandhya adalah bahasa
Sansekerta. Ada tiga jenis bahasa Sansekerta yaitu, Sansekerta Veda,
Sansekerta Klasik dan Sansekerta Kepulauan (Hibrida).
Sansekerta Veda adalah bahasanya kitab Catur Veda Samhita, Sansekerta Klasik
adalah bahasanya kitab-kitab Itihasa dan Purana, dan sansekerta Kepulauan atau
Hibrida adalah bahasa Sansekerta yang didapati di Jawa dan Bali terutama dalam
lontar-lontar puja.
Dengan demikian bait pertama dari Puja Tri Sandya memakai bahasa
Sansekerta Veda, bait kedua memakai bahasa Sansekerta Klasik, bait ketiga
sampai dengan keenam memakai bahasa Sansekerta Kepulauan atau Hibrida.
1.6 Tata Cara Melaksanakan Puja Tri Sandhyā.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa Tri Sandyā baru dikenal
setelah tahun 1950-an, dan setelah buku Upadesa diterbitkan Mantram Puja Tri
Sandhyā semakin populer sebagai salah satu cara sembahyang terutama dikalangan
kaum terpelajar. Buku-buku tentang Puja Tri Sandhyā dan buku-buku tentang
pedoman sembahyang semakin banyak diterbitkan. I Gusti ketut Kaler menulis
buku,”Tuntunan Muspa,” Buku-buku pelajaran di sekolah hampir semuanya memuat
pelajaran Tri Sandhyā dan sembahyang.
Dalam perjalan waktu antara buku yang satu dengan yang lain
terdapat perbedaan kecil tentang teks, terjemahan dari mantra-mantra Tri
Sandhyā itu. Maka oleh beberapa pemerhati teks Hindu, teks Puja Tri Sandhyā
ditinjau ulang dengan mengadakan telaahan dan perbandingan dengan kitab Veda
Sanggraha yang diterbitkan oleh PDHB tahun 1963, Stuti dan Stava oleh
C.Hoykaas, Narayana Upanisad,dengan tujuan untuk mengamati bahasa dan aturan
tata bahasa Sansekerta dari teks Puja Tri Sandhyā itu.
Teks Puja Tri Sandhyā kemudian direkonstruksi. Selanjutnya rekonstruksi
tersebut dibahas dan dapat diterima serta ditetapkan dalam Paruman Sulinggih
PHDI Bali tahun 1989.
Hasil paruman tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu
materi Mahasabha ke VI PHDI Pusat di Jakarta tahun 1991 yang kemudian menjadi
keputusan Mahasabha.
Tata cara melaksanakan Puja Tri Sandhyā
Menurut, “Keputusan Mahasabha ke VI tahun
1991.”
a. Asana
Asana berasal dari urat kata ,”as,” artinya duduk atau
sikap. Jadi asana artinya sikap yaitu sikap sembahyang yang meliputi sikap
tangan dan sikap badan. Ketika melaksanakan Puja Tri Sandhyā sikap tangan
adalah, Amusti Karana (musti artinya ibu jari) yaitu sikap dengan mempertemukan
ibu jari tangan kanan dan tangan kiri dengan posisi tangan kanan berada dalam
kenggaman tangan kiri. Selanjutnya Puja Tri Sandhyā dapat dilakukan dengan
sikap berdiri (Padāsana) atau dengan duduk (Padmāsana bagi laki-laki dan
Bajrāsana bagi perempuan), sesuai tempat dan situasi yang tersedia.
b. Prānāyāma
Prānāyāma artinya
mengatur jalannya nafas. (Prāna artinya tenaga hidup/nafas, ayāma artinya
pengendalian/pengaturan). Gunanya untuk menenangkan pikiran dan mendiamkan
badan untuk mengikuti jalannya pikiran. Bila pikiran dan badan sudah tenang
barulah mulai sembahyang.
Prānāyāma dilakukan
dengan cara :
§
Menarik nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ang
namah.”
§
Menahan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ung
namah.”
§
Mengeluarkan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, Om Mang
namah.”
c. Karasoddhana
Yaitu pembersihan dan
penyucian badan melalui tangan dengan lafalan mantram :
§
Penyucian tangan kanan, matramnya, “Om suddha mām svāhā.”
(Om bersihkanlah hamba)
§
Penyucian tangan kiri, mantramnya, “Om ati suddha mām
svāhā.” ( Om lebih bersihlah hamba).
d. Mantram Puja Tri Sandhyā
1. Om bhūr bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo nah pracodayāt
2. Om nārāyana evedam
sarvam
yad bhūtam yac ca
bhavyam
niskalańko nirañjano
nirvikalpo nirākhyātah
śuddho deva eko
nārāyano na dvitiyo
asti kaścit
3. Om tvam śivah tvam
mahādevah
īśvarah parameśvarah
brahmā vişņuśca
rudraśca
puruşah parikīrtitah
4. Om pāpo ham
papakarmāham
pāpātmā pāpasambhavah
trāhi mām puņdarīkākşa
sabāhyābhyantarah
śucih
5. Om kşamasva mām
mahādeva
sarvaprāņi hitańkara
mām moca sarva
pāpebhyah
pālayasva sadā siva
6. Om kşāntavyah
kāyiko doşah
kşāntavyo vāciko mama
kşāntavyo mānaso doşah
tat pramādāt kşamasva
mām
Om śāntih śāntih
śāntih Om
Artinya :
1. Om adalah bhur bhuwah swah
kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan
kemuliaan Sanghyang Widhi. Semoga Ia berikan semangat pikiran kita
2. Om Narayana adalah
semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas
dari kekotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa
Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua
3. Om Engkau dipanggil
Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa
4. Om hamba ini papa,
perbuatan hamba papa, diri hamba papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba
Sanghyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba
5. Om ampunilah hamba
Sanghyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah
hamba dari segala dosa, lindungilah oh Sanghyang Widhi
6. Om ampunilah dosa
anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba ampunilah dosa pikira
hamba, ampunilah hamba dari segala kelalaian
Om, damai damai damai,
Om
2. KRAMANING SEMBAH
2.1 Pengertian
Pada mulanya tata cara sembahyang belum diatur
secara pasti. Melalui Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Ajaran Hindu
tahun 1982, ditetapkan tentang siapa yang boleh disembah yaitu Sanghyang Widhi,
Dewa, Rsi, Leluhur/Bhatara-Bhatari, Manusia dan Bhuta. Tentang siapa boleh
disembah, dirujuk buku Upadesa(1981/1982) dan buku Tuntunan Muspa karya I Gusti
Ketut Kaler (1970/1971). Waktu seminar tersebut, ditetapkan istilah tata cara
dan urutan atau rangkaian sembahyang disebut, “Kramaning Sembah.”
Sesuai perjalanan waktu muncul istilah Panca
Sembah sebagai tata cara sembahyang, pada buku-buku yang ditulis oleh
tokoh-tokoh umat Hindu dengan argumentasi mereka masing-masing. Oleh karena
adanya bermacam-macam istilah pada tata cara dan urutan serta sikap sembahyang
yang berkembang maka melalui Mahasabha ke VI tahun 1991, ditetapkan kembali
tata cara dan urutan sembahyang disebut, “Kramaning Sembah.”
Kramaning Sembah berasal dari kata krama artinya
urutan yang tepat, dansembah artinya menyembah (sembahyang).
2.2 Persiapan Kramaning Sembah
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan
batin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas, sikap
tangan dan sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga, kuangen dan
dupa. Sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran.
Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah
sebagai berikut:
2.2.1 Asuci Laksana
Yaitu mengusahakan kebersihan dan kesucian. Kebersihan
berhubungan dengan kebersihan badan yang dapat diupayakan dengan mandi dan
keramas. Kesucian berhubungan dengan nilai religius yang
biasanya diupayakan dengan malukat dan lain-lain.
2.2.2 Pakaian
Pakaian waktu sembahyang agar diupayakan pakaian yang bersih
serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat atau longgar,
warna yang menjolok hendaknya dihindari. Pakaian harus disesuaikan dengan drsta setempat
supaya tidak menarik perhatian orang.
2.2.3 Sikap Duduk dan Sikap Tangan
Sikap duduk dapat
dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan
hati. Sikap duduk yang baik untuk laki-laki adalah Padmasana yaitu sikap duduk
bersila dengan badan tegak lurus. Bagi wanita sikap duduk yang baik disebut
Bajrasana yaitu sikap duduk besimpuh dengan dua tumit kaki diduduki dan badan
tegak lurus.
Sikap tangan yang baik waktu sembahyang adalah sikap Anjali atau Cakuping
Kara Kalihyaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan
ubun-ubun, dimana pada waktu sembahayang memakai bunga atau kuangen, dijepit
pada ujung jari tengah.
2.2.4 Sarana Sembahyang (bunga, kuangen, dupa)
Bunga dan Kuangen adalah
lambang kesucian (Sekare pinaka katulusan pikayunan suci: dalam lontar
Yadnya Prakerti) serta simbul Sanghyang Widhi dan manifstasi-Nya. Jika
dalam persembahyangan tidak ada Kuangen dapat diganti dengan bunga. Oleh karena
itu patut diupayakan bunga yang segar, bersih dan harum. Dalam kitab Agastya
Parwa disebutkan ada beberapa bunga yang tidak baik dipersembahkan atau dipakai
sebagai sarana persembahyangan.
“Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara :
kembang uleren, kembang ruru tan inuduh, kembang laywan, laywan ngaranya alewas
mekar, kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena
de nika sang satwika.”
Artinya :
Inilah bunga yang
tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur
tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang
lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga
yang tidak patut dipersembahkan oleh orang baik-baik.
Apinya dupa adalah simbul Sanghyang Agni, saksi
dan pengantar sembah kita kepada Sanghyang Widhi. Setiap yadnya dan pemujaan
tidak luput dari penggunaaan api.
2.3 Urutan-urutan Sembah
Urutan-urutan sembah
baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin
oleh Pemangku/Pinandita atau Sulinggih adalah seperti berikut :
1. Sembah puyung
Mantramnya : “Om ātma tattvātmā suddha mām svāhā.”
Artinya : Om Ātma,
Ātmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.
2. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Sanghyang Aditya, dengan
saranabunga.
Mantramnya : “Om ādityasāparam jyoti,
rakta teja namo’stute,
svetapańkaja
mdhyastha,
bhāskarāya namo’stute.”
Artinya : Om sinar
surya yang maha hebat,
Engkau bersinar merah,
hormat kepada-Mu,
Engkau yang berada di
tengah-tengah teratai putih,
hormat pada-Mu pembuat
sinar.
3. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Ista Dewata pada hari dan
tempat persembahyangan, sarana kwangen.
Mantramnya : “Om nama deva adhisthanāya,
Sarva vyāpi vai śivāya,
Padmasāna ekapratisthāya,
Ardhanareśvaryai namo’namah.”
Artinya : Om kepada
Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi,
kepada Siwa yang
sesungguhnya berada dimana-mana,
kepada Dewa yang
bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,
kepada Ardhanaresvari
hamba menghormat.
Catatan :
Ista Dewata artinya
dewata yang diingini hadir-Nya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah
perwujudan Sanghyang Widhi dalam berbagai-bagai wujud-Nya. Seperti Brahma, Visnu,
Isvara, Sarasvati, Gana dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam
sesuai dengan Ista Dewata yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada
hari Saraswati yang dipuja adalah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa, pada
hari lain dipuja Dewata yang lain dengan Stawa-Stawa yang lain juga.
Contoh : Puja atau
stawa yang dapat diucapkan pada waktu hari Saraswati,
“Om Sarasvatinamastubhyam,
Varade kāma rupini,
Siddhārambham karisyāmi,
Siddhir bhavatu me sadā.”
Artinya : Om Hyang
Sarasvati dalam wujud-Mu sebagai penganugrah berkah, terwujud dalam bentuk yang
sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lalukan selalu sukses
atas waranugraha-Mu.
“Om Brahma-putri mahā-devi,
Brahmanyā Brahma-nandini,
Sarasvati samjñayani,
Prayānāya Sarasvati.”
Artinya : Engkau
adalah Sakti Deva Brahma, ya Mahadewi, Engkau adalah pancaran kemuliaan Deva
Brahma, Engkau adalah kumpulan segala kebijaksanaan, segala puja dan puji
tertuju padaMu, ya Sarasvati.
Untuk pengastawa atau puja yang lain lihatlah
buku “Doa sehari-hari menurut Hindu,” oleh Drs. I Gusti Made Ngurah, buku Tri
Sandhya Sembahyang dan Berdoa,” oleh Dr. Made Titib dan buku lain yang sejenis.
Pada saat
persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem,
Dewata yang dipuja adalah Sanghyang Siwa yang berada dimana-mana, atau juga di
tempat suci tertentu yang tidak diketahui Ista Dewata yang distanakan disana
maka mantram yang diucapkan adalah mantram nomor tiga tersebut.
4. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Pemberi Anugrah, sarana kuangen.
Mantramnya : “Om anugraha manohara,
devadattānugrahaka,
arcanam sarvapūjanam,
namah sarvānugrahaka.
Deva devi mahāsiddhi,
yajñānga nirmalātmaka
laksmī siddhisca
dīrghāyuh,
nirvighna sukha
vŗddhisca.”
Artinya : Om, Engkau
yang menarik hati, pemberi anugrah, anugrah pemberian Dewa, pujaan semua
pujaan, hormat kepada-Mu pemberi semua anugrah.
Kemahasidian Dewa dan
Dewi, berwujud yadnya, pribadi yang suci, kebahagiaan, kesempurnaan panjang
umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan.
5. Sembah Puyung.
Mantramnya : “Om, deva suksma paramācintyāya nama svāhā.”
Artinya : Om, hormat
pada Dewa yang tak terpikirkan yang maha tinggi, yang naha gaib.
Setelah
persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon tirta dan bija.
2.4 Beberapa Catatan Penting.
1. Kuangen
Kuangen adalah nama
salah satu sarana sembahyang. Kuangen dibuat dari daun pisang atau janur yang
berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa daun-daunan, hiasan
dari janur yang disebut sampian kuangen (cili), bunga, uang kepeng dan porosan
silih asih. Adapun yang dimaksud porosan silih asih adalah dua potong daun
sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga jika
digulung tampak bolak-balik, yaitu yang satu tampak bagian perutnya dan yang
satu lagi tampak punggungnya.
Dalam sembahyang
kuangen simbul Omkara/Ongkara.
· Cili/Sampian Kuangen yang berbentuk lancip adalah simbul Nada
· Uang kepeng adalah simbul Windu
· Potongan permukaan yang melingkar sedikit lancip simbul
Ardhacandra
· Kojong (diusahakan lipatannya tiga kali) adalah simbul O kara
Omkara adalah aksara suci Sanghyang Widhi. Dengan demikian
kuangen adalah simbul Sanghyang Widhi. Oleh karena itu pada waktu sembahyang
memakai sarana kuangen hendaknya sedemikian rupa sehingga muka kuangen
berhadap-hadapan dengan muka penyembahnya. Hal ini dimaksudkan agar penyembah
dengan yang disembah berhadap-hadapan. Yang merupakan muka kuangen adalah
bagian letak uang kepengnya.
2. Tirtha
Tirtha adalah air suci
yaitu air yang telah disucikan dengan suatu upacara tertentu. Pada umumnya
tirtha diperoleh melalui dua cara yaitu :
a) Dengan cara memohon dihadapan pelinggih Ida Bhatara
dengan upacara tertentu. Tirtha yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya
disebut tirtha wangsuh pada atau banyun cokor.
b) Dengan cara membuat (ngreka) yang dilakukan dengan
mengucapkan puja mantra tertentu oleh Beliau yang mempunyai kewenangan untuk
itu (Sulinggih dan atau Pemangku/Pinandita). Tirtha yang diperoleh dengan cara
ini antara lain adalah tirtha panglukatan, tirtha prayascita, tirta
durmanggala, dan sebagainya.
Adapun tirta yang
merupakan waranugraha setelah selesai sembahyang adalah tirtha wangsuh pada Ida
Bhatara. Tirtha ini dipercikkan di kepala tika kali, diminum tiga kali dan
dibasuhkan di wajah tiga kali. Hal ini adalah sebagai simbolis penyucian Tri
Kaya menjadi Tri Kaya Parisuddha (Kayika, Wacika, Manacika Parisuddha),
sehingga terbebas dari dari segala kotoran, noda dan dosa, kecemaran dan
sejenisnya.
3. Wija atau Bija
Mawija atau mabija dilakukan setelah selesai matirtha, yang
merupakan rangkaian terakhir dari suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija
adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Kadangkala juga
dicampur dengan kunir sehingga berwarna kuning, maka disebutlah wija atau bija
kuning. Idealnya supaya diupayakan beras galih yaitu beras utuh yang tidak
patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang Kumara yaitu putra atau
wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud Kumara adalah benih ke-Siwa-an
yang bersemayam pada diri seseorang. Mawija atau mabija mengandung makna
menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an dalam diri. Benih tersebut akan tumbuh
berkembang apabila ladangnya bersih dan suci. Maka itu mawija dilakukan setelah
matirtha.
Menurut kitab Bhagawad
Gita bahwa dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan (daiwi sampad) dan
sifat keraksasaan (asuri sampad).Menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an berarti
menumbuhkembangkan sifat kedewataan agar dapat mengatasi sifat keraksasaan.
Kedua sifat tersebut bersemayam di dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk
tumbuh dan berkembangnya benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dan lubuk hati maka
disimbulkan dengan menempelkan bija tersebut di tengah kedua kening serta
menelannya. Dan yang patut juga diingat wija atau bija disamping sebagai
lambang Kumara juga sebagai sarana persembahan.
Daftar Pustaka
Maswinara, I Wayan,
1999, Panggilan Veda, Paramita Surabaya.
Sura I Gede, dkk,
2002, Agastya Parwa Teks dan Terjemahan, Widya Dharma UNHI Denpasar
Tim Penyusun,
1980/1981, Upadesa, Departemen Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
_____ , 1994/1995,
Pedoman Sembahyang, Pemerintah Daerah Tk I Bali
_____ , 1994/1994, Tri
Sandhya dan Kramaning Sembah, Pemerintah Daerah Tk. I Bali
_____ , 2002, Kamus
Istilah Agama Hindu, Pemerintah Provinsi Bali
_____ , 2006,
Siwatattwa, Pemerintah Provinsi Bali.
Titib, Dr. I Made,
2003, Tri Sandhya Sembahyang dan Berdoa, Paramita Surabaya.
Zoetmulder P.J, 1995,
Kamus Jawa Kuna – Indonesia, Pt Gramedia Pustaka Utama Jakarta